Ketidakseimbangan dalam Perjanjian dan Akibat Hukumnya

oleh Estomihi F.P Simatupang, S.H
Salah satu asas dalam perjanjian adalah asas keseimbangan. Asas keseimbangan adalah suatu Asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik.
Dalam UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen bahwa Asas keseimbangan dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual. 
Asas keseimbangan tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk mengadakan perjanjian dengan siapapun (Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Dengan demikian asas keseimbangan tidak melarang atau membatasi seseorang untuk melakukan perjanjian dengan orang yang lebih lemah atau lebih unggul darinya baik secara ekonomi, kejiwaan, pengetahuan maupun kekuasaan.
Asas keseimbangan bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan keadaan oleh salah satu pihak yang memiliki keunggulan dari pihak lain seperti keunggulan secara ekonomi, keunggulan secara kejiwaan, keunggulan secara pengetahuan dan keunggulan secara kekuasaan.
Pihak yang memiliki keunggulan dalam perjanjian pada umumnya adalah kreditur dan pihak yang lemah adalah debitur. Sehingga pihak yang mungkin untuk memanfaatkan keadaan untuk keuntungannya sepihak adalah kreditur. Posisi yang lemah atau ketidakberdayaan debitur seringkali dimanfaatkan oleh kreditur untuk membuat syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi oleh sidebitur kepada kreditur. Hal ini menyebabkan ketidakseimbangan antara hak kreditur dan kewajiban debitur. Ketidakseimbangan antara hak kreditur dan kewajiban debitur ini seringkali ditemukan dalam perjanjian baku. Perjanjian baku pada umumnya sudah dipersiapkan dan ditentukan sepihak oleh kreditur sehingga debitur hanya bisa menerima atau menolak perjanjian tersebut atau yang sering kita dengar dengan istilah "take it or leave it". Ketentuan Hukum Perjanjian baku adalah perjanjian yang tidak dilarang oleh undang-undang sepanjang perjanjian tersebut tidak melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Selain ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang perjanjian baku juga harus sesuai dengan kesusilaan dan ketertiban umum.  Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak dalam menentukan isi perjanjian. Asas kebebasan berkontrak merupakan sebagai dasar hukum dalam membuat perjanjian baku namun perjanjian baku harus tetap berpedoman pada pasal 1320, 1337, 1338, 1339 KUH Perdata.    Akibat Hukumnya Memanfaatkan posisi yang lemah atau ketidakberdayaan debitur dalam bentuk membuat syarat atau ketentuan yang harus dipenuhi oleh debitur mengakibatkan ketidakseimbangan antara hak kreditur dan kewajiban debitur merupakan perbuatan penyalahgunaan keadaan.  Penyalahgunaan keadaan dapat dikategorikan sebagai kehendak cacat.  Faktor-faktor yanng dapat memberikan indikasi tentang adanya penyalahgunaan kekuasaan ekonomi :
  1. Adanya syarat-syarat yang diperjanjikan yang sebenarnya tidak masuk akal atau yang tidak patut atau bertentangan dengan perikemanusiaan;
  2. Nampak atau ternyata pihak debitur berada dalam keadaan tertekan (dwang positie);
  3. Apabila terdapat keadaan dimana bagi debitur tidak ada pilihan-pilihan lain kecuali mengadakan perjanjian aquo dengan syarat-syarat yang memberatkan;
  4. Nilai dari hasil perjanjian tersebut sangat tidak seimbang kalau dibandingkan dengan prestasi timbal balik dari para pihak.
Prof. Z. Asikin Kusumah Atmaja dalam ceramahnya di Jakarta, pada tanggal 21 November 1985 menyatakan bahwa penyalahgunaan keadaan dianggap sebagai faktor yang membatasi atau mengganggu adanya kehendak yang bebas untuk menentukan persetujuan antara kedua pihak (Pasal 1320 KUH Perdata). Penyalahgunaan keadaan sebagai perbuatan cacat kehendak yang mengandung ketidakseimbangan antara hak debitur dan kewajiban debitur dalam suatu perjanjian dapat dijadikan sebagai alasan untuk menuntut pembatalan atas perjanjian tersebt.

Referensi : 1. Kitab Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) 2. Mariam Darus Badrulzaman, Hukum Perikatan dalam KUH Perdata Buku Ketiga, 2015 3. Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, 2003 4. H.P Panggabean, Penyalahgunaan Keadaan sebagai alasan (baru) untuk pembatalan perjanjian, 2010

Comments