Tanggung Jawab Dalam Hukum Perdata

oleh Estomihi FP Simatupang, S.H



Menurut Peter Mahmud Marzuki, Tanggung Jawab adalah merupakan tanggung gugat yang merujuk pada posisi seseorang atau badan hokum yang dipandang harus membayar suatu bentuk kompensasi atau ganti rugi setelah adanya peristiwa hokum atau tindakan hokum[1]. Ia misalnya harus membayar ganti rugi kepada orang atau badan hokum lain karena telah melakukan perbuatan melanggar hokum (onrechtmatige daad) sehingga menimbulkan kerugian bagi orang atau badan hokum lain tersebut. Istilah tanggung gugat berada dalam ruang lingkup hokum privat. 

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu, kalau ada suatu hal boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan, dan sebagainya. 

Penerapan tanggung jawab, menurut Mariam Darus tanggung jawab diterapkan terhadap orang yang dapat ditagih untuk memenuhi utang debitur karena pihak tersebut telah mengikatkan dirinya untuk melunasi utang debitur yang terkait[2]. Tagihan untuk membayar utang debitur dapa diajukan kepada setiap yang bertanggung jawab termasuk didalamnya kepada debitur. Namun jika pihak yang bertanggung jawab menolak membayar utang debitur yang terkait, kewajiban membayar utang itu menjadi beban dari debitur karena mempunyai kewajiban tanggung gugat (draagjalicht) dan tanggung jawab/aansprakilijk). 

Menurut Hans Kelsen bahwa seseorang bertanggung jawab secara hokum atas perbuatan tertentu atau dia memikul tanggung jawab hokum berarti bahwa dia bertanggung jawab atas suatu sanksi bila perbuatannya bertentangan[3]. Teknik hokum primitive ditandai dengan fakta bahwa hubungan antara perbuatan dengan akibatnya tidak mengandung kualifikasi psikologis. Tidak ada relevansi antara apakah individu pelaku mengantasipasi atau mengkehendaki akibat dari perbuatannya itu. Cukup dikatakan bahwa perbuatannya itu menimbulkan akibat yang dianggap merugikan oleh pembuat undang-undang, dan bahwa ada suatu hubungan eksternal antara perbuatannya dengan akibatnya. Jenis tanggung jawab ini disebut tanggung jawab mutlak[4]. Meski demikian hokum modern juga mengenakan sanksi terhadap tindakan yang telah menimbulkan akibat yang membahayakan tanpa terlebih dahulu dikehendaki atau benar-benar diantisipasi , khususnya jika individu tidak melakukan tindakan-tindakan yang dalam keadaan normal dapat menghindarkan akibat yang membahayakan itu. Karena hokum modern mewajibkan tindakan yang demikian guna menghindari akibat yang membahayakan dari tindakannya pada individu lain. Kegagalan untuk melakukan kehati-hatian yang diharuskan oleh hokum disebu kehilafan (negligence) dan kehilafan biasanya dipandang sebagai suatu jenis lain dari kesalahan (culpa) walaupun tidak sekeras kesalahan yang terpenuhi karena mengantisipasi dan mengkehendaki dengan atau tanpa maksud jahat akibat yang membahayakan. Kehilafan merupakan delik omii, dan tanggung jawab atas kehilafan lebih merupakan jenis tanggung jawab absolute ketimbang jenis kesalahan (culpability)[5]

Prinsip tanggung jawab dalam hukum secara umum dibedakan sebagai berikut: 

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (liability based on fault). 
2. Prinsip praduga untuk bertanggung jawab (presumption of liability). 
3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggung jawab (presumption of non liability). 
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability). 
5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability). 

Dalam KUHPerdata terdapat 2 jenis tanggung jawab, yaitu:

1. Tanggung jawab karena wansprestasi;
2. Tanggung jawa karena melakukan perbuatan hukum;


[1] Janus Sidababalok, Op. cit., h. 37 
[2] Mariam Darus, Op. cit., h. 4 
[3] Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum dan Negara, terjemahan Raisul Muttaqien (Bandung, Nusamedia & Penerbit Nuansa, 2006), hal. 96 
[4] Ibid. h. 96 

[5] Ibid. h. 97

sumber gambar:https://beritatransparansi.com

Comments