Akibat Hukum Dikesampingkannya Pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata

Oleh Estomihi F.P Simatupang Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas MPU Tantular


Dalam sebuah perjanjian/ kontrak mungkin kita pernah menemukan klausula tentang syarat batalnya kontrak dengan mengenyampikan pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata. Adapun tujuan dicantumkannya syarat batalnya kontrak ini adalah ketika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya maka kontrak akan batal dengan sendirinya tanpa perlu meminta pembatalan kepada pengadilan. 


Lain hal, jika kedua belah pihak tidak ada yang keberatan atau dirugikan ketika hal ini terjadi maka tentu hal itu tidak perlu dipersoalkan lagi, dengan sendirinya kontrak itu terhapus karena tidak ada yang menuntut. Namun bagaimana jika salah satu pihak tidak terima dan menganggap kontrak itu belum batal sedangkan dipihak lain menganggap bahwa perjanjian telah batal karena tidak dipenuhinya kewajibannya sesuai dengan syarat batal dalam perjanjian. Lalu apakah perjanjian itu batal demi hukum ataukah perjanjian itu masih mengikat kedua belah pihak ?


Salah satu asas dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak yang membebaskan kita untuk menentukan isi dan klausula kontrak. Lalu apakah dengan adanya asas itu kita lantas bertentangan dengan undang-undang ?. 


Pasal 1267 dengan jelas mengatakan bahwa pembatalan kontrak dilakukan dengan  meminta pembatalan kepada pengadilan jika salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Lalu apakah persetujuan yang merupakan undang-undang bagi mereka yang membuatnya (pasal 1338) dapat mengenyampingkan pasal 1267 ? Apakah persetujuan tersebut dapat dikatakan sebagai lex specialist derogate legi generalis? sehingga dapat mengenyampingkan KUHPerdata. Bukankah mengenyampingkan Pasal 1266 dan 1267  merupakan perbuatan melawan hukum ?


Kebebasan menentukan isi dan klausula perjanjian menurut hemat penulis adalah kebebasan menentukan isi dan klausula perjanjian, sepanjang isi dan klausulu tersebut belum diatur dalam undang-undang.


Suatu Perjanjian dapat dibatalkan apabila perjanjian tidak sesuai dengan syarat subyektif (point 1 dan 2) .Yang dimaksud dapat dibatalkan (vernietigbaar) adalah salah satu pihak dapat memintakan pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas). Hal ini dapat kita lihat dalam pasal 1321 s.d 1329 KUHPerdata.


Dan suatu perjanjian batal demi hukum apabila perjanjian tersebut tidak sesuai dengan syarat obyektif (point 3 dan 4). Yang dimaksud batal demi hukum (Null and Void) adalah bahwa dari awal perjanjian itu telah batal, atau dianggap tidak pernah ada, apabila syarat objektif tidak dipenuhi. Perjanjian itu batal demi hukum, dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan/atau tidak pernah ada suatu perikatan. Hal ini dapat kita lihat dalam Pasal 1332 s.d 1337 KUHPerdata


Dengan demikian, menurut penulis, perjanjian yang menncatumkan klausula batalnya kontrak dengan mengenyampingkan pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata adalah tidak sah (batal demi hukum). tidak sah atau batal demi hukum disini bukanlah keseluruhan kontrak/ perjanjian tetapi hanya sebatas klausula yang mencantumkan syarat batal kontrak dengan mengenyampingkan pasal 1266 dan 1267 KUHPerdata.


Referensi :
Kitab Undang Hukum Perdata

sumber : www.berandahukum.com

Comments